UMAR BIN KHATHAB
DAN IBU PEMASAK BATU
Wahai saudaraku,
kali ini kami ajak untuk menyelami
kisah seorang Khalifah pada zaman Rasul ALLAH, salah seorang Khalifah yang
sangat kita kagumi. Seorang bertubuh besar dan berfisik
kuat, tapi berhati sangat lembut dan berakhlak sangat mulia. Seorang ikhwan
bernama Umar bin Khathab.
Khalifah kedua
ini dikenal sebagai pribadi yang tegas dan kuat. Beliau termasuk sahabat yang
sangat dikasihi Nabi Muhammad. Sebelum memeluk Islam, beliau bagai lawan tanpa
tanding. Musuh-musuhnya sering kali terpukul mundur sebelum sempat melawan jika
mengetahui yang akan menghadapi mereka adalah ‘Umar bin Khathab.
Saat
jumlah umat Islam masih sedikit, Rasul ALLAH pernah berdo’a
agar Islam dikuatkan oleh salah satu dari kedua Umar,
yaitu Umar bin Abdul Mutholib atau Umar bin Khathab. Ternyata ALLAH memberikan Umar
bin Khathab sebagai karunia untuk umat Islam.
‘Umar masuk Islam
setelah mendengar lantunan surat Thoohaa (surat ke1-8
dalam Al-Qur’an)
yang dibacakan adik perempuannya, Fathimah. Yakni di tahun keenam sesudah
Baginda Muhammad diangkat sebagai Nabi ALLAH (sekitar 6 Hijjriyah).
Beliau juga dikenal sebagai Jenderalnya
umat Islam. Beliau sangat keras dalam membela agama ALLAH.
Umar bin Khathab adalah salah
satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan kaum Quraisy. Begitu
pemberani dan tegasnya beliau hingga saat dakwah Islam dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, Umar mengusulkan dakwah dilakukan secara terbuka.
Pada masa Umar
menjadi Khalifah, daerah kekuasaan Islam bertambah luas. Kerajaan Persia dan
Romawi Timur dapat ditaklukan dalam kurun waktu satu tahun (636-637 Masehi).
Beliau dipanggil “Amirul Mukminin” (Pemimpin orang mukmin). Pemimpin yang
sederhana dan peduli dengan rakyatnya ini, wafat setelah dibunuh Abu Lukluk
saat hendak memimpin sholat (23 H/644 M). Makam beliau didekatan dengan makam
Abu Bakar dan Rasul ALLAH.
Ini sebuah
kisah di zaman kekhalifahan Umar bin Khathab
yang membuat kita miris menangis membacanya. Walaupun bukan
pertama kali kudengar kisahnya, membacanya
lagi dalam kedewasaan dan kematangan (meresapi atas keteladanannya),
membuat airmata jatuh dalam keharuan.
Suatu masa
dalam kepemimpinan Umar bin Khathab, terjadi “Tahun Abu”.
Masyarakat Arab menderita masa paceklik berat. Hujan tak lagi turun, pepohonan
mengering, hewan-hewan mati. Tanah tempat berpijak hampir menghitam layaknya
abu (semoga ALLAH SWT. meringankan ujian kekeringan di
beberapa belahan negeri kita, Aamiiin..).
Putus asa
mendera dimana-mana. Saat itu Umar sang Khalifah melakoni pribadi yang
sebenar-benarnya sebagai pemimpin. Rakyatnya diurus dengan
cermat dan saksama, sepenuh hati. Setiap hari beliau menginstruksikan aparatnya
menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat.
Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Tapi hatinya pedih, kecemasan
kian menebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Yaa.. ALLAH, jangan
sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.”
Umar bin Khathab khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang.
Sang pemberani itu hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun.
Akibatnya, perutnya terasa panas dan beliau meminta pembantunya, mengurangi
panas minyak dengan api. Minyak dimasak, namun perutnya makin panas dan
berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, perutnya ditabuh seraya berkata,
“Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku
bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Begitulah
saudaraku, sedikit cuplikan kehidupan seorang Umar bin Khathab. Subhanalloh,
sungguh mulia sang Amirul Mukminin, tak berpikir olehnya untuk
menikmati jabatan dengan menumpuk harta atau bahan pangan untuk dirinya.
Padahal dengan kekuasaannya
bisa saja beliau menjalankan diktator (aji mumpung). Hampir setiap malam Umar bin Khathab melakukan
perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya yang bernama Aslam, beliau keluar masuk kampung. Ini
beliau lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar bin Khathab khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum
dipenuhi oleh staf pemerintahannya.
Malam itu,
bersama Aslam, Khalifah Umar mengarungi kampung terpencil yang berada di tengah
gurun sepi. Tiba-tiba beliau terperanjat. Dari sebuah kemah yang
sudah rombeng, terdengar suara gadis kecil menangis keras. Umar bin Khathab
dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, untuk mengecek bila penghuninya
membutuhkan bantuan.
Setelah dekat,
Umar melihat seorang perempuan tua tengah menanakkan panci di atas tungku. Asap
mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus mengaduk-aduk isi panci
dengan sendok kayu panjang.
“Assalaamu’alaikum,” sang Khalifah Umar memberi salam.
Mendengar
salam Khalifah Umar, ibu itu mendongakkan kepalanya
seraya menjawab salam sang khafiah Umar. Tapi setelah itu, ia
kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?”
tanya Umar.
Dengan sedikit
tak acuh, ibu itu menjawab, “Anakku…”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
Sang Khalifah Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk
di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus
menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi panci
di atas api.
Umar bin Khathab tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh
ibu itu? Lama betul matangnya. Kebingungan, Khalifah Umar bertanya, “Apa yang sedang kau masak, hai ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu
itu?”
Ibu itu
menoleh dan menjawab, “Hmm, kau lihatlah
sendiri!”
Umar bin Khathab dan Aslam segera melongok ke
dalam panci tersebut. Kaget bin kaget keduanya terbelalak melihat apa yang ada
di dalam panci. Sang Khalifah Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Si ibu
mengangguk.
“Buat apa?”
Dengan suara
lirih, ibu itu menjawab, “Aku memasak
batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khathab.
Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi
belum. Aku seorang janda. Sejak pagi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi
ia kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki.
Namun ternyata tidak. Sesudah maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku
terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil,
memasukkannya ke dalam panci dan aku isi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk
membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata
tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta
makan.”
Setelah
menjelaskan panjang lebar, ibu itu terdiam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khathab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu
menjamin kebutuhan rakyatnya!”
Mendengar
penuturan si ibu, Aslam berniat menegur perempuan itu. Namun Khalifah Umar
sempat mencegah. Dengan air mata berlinang beliau bangkit dan mengajak Aslam
cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar bin Khathab segera memikul gandum di punggungnya, untuk
diberikan kepada janda tua nan sengsara itu.
Karena Umar
bin Khathab terlihat keletihan, Aslam berujar, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu…”
Dengan wajah
merah padam, Umar menjawab, “Aslam,
jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul
beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di
hari pembalasan kelak?”
Aslam tertunduk.
Tersuruk-suruk Khalifah Umar berjuang memikul karung gandum itu. Angin
berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.
Subhanalloh,
bila kita baca cerita ini dengan hati yang sejuk, maka sungguh mata ini
berkaca-kaca, saudaraku. Lihatlah pemimpin di
negeri ini, sibuk korupsi, sibuk rebutan kursi, sibuk ngoleksi istri, sibuk
cari uang sana sini. Na’udzubillah... Sungguh, kepemimpinan seperti Khalifah Umar bin Khathab inilah yang patutnya kita jadikan pelajaran (selain Rasul ALLAH tentunya). Belum lagi
keberanian beliau menentang siapa saja yang menjelekkan Islam. Sedangkan kita Saudaraku, malah sibuk menjaga nama baik, sibuk maksiat, sibuk menambah harta
tanpa peduli halal haramnya. Tapi tak pernah sekalipun kita berpikir untuk
mengangkat kemuliaan kita di hadapan ALLAH. Kapankah terakhir diri ini membaca
Al-Qur’an dengan baik dan menyejukkan, kapankah terakhir
diri ini bersujud di atas sajadah malah, kapankah terakhir diri ini mengisi
tangan-tangan yang menengadah di jalanan.
Dan... entah
seberapa cepat kita mati hingga seujung kukupun tak ada lagi yang bisa kita
perjuangkan.
Setiap dari
kita kiranya ingin masuk surga. Namun, tidaklah mudah untuk meraihnya, harus
ada yang kita “bayar”. Tidak cukup hanya mengaku sebagai muslim, butuh ketaatan
dan pengorbanan. Lihatlah bagaimana sikap itu diajarkan oleh salah seorang
sahabat Nabi Muhammad Sholallahu
‘Alaihi Wa Sallam, Umar bin Khaththab Radhiallohu Anhu.
Memang kita
bukan manusia yang sempurna layaknya Rasul ALLAH. Tapi kita adalah hamba ALLAH,
sama seperti beliau, ada harga yang harus kita raih untuk memasuki jannah
ALLAH. Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang merugi, Aamiin..
“ALLAH SWT. telah
menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ada ampunan dan pahala yang besar.”
“Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai
dari sholatnya, (ibadah) orang-orang yang berbuat riya dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.”
Umar bin Khattab adalah khalifah kedua yang berkuasa
pada tahun 634 sampai 644. Dia juga digolongkan sebagai salah satu Khulafaur
Rasyidin. Umar merupakan salah satu sahabat utama Nabi Muhammad dan juga
merupakan ayah dari Hafshah, istri Nabi Muhammad.
Lahir: 584 M, Mekkah, Arab Saudi
Nama lengkap: Umar ibn Al-Khattฤb
Pasangan: Atikah binti Zaid bin Amru bin Nufail
Dibunuh: 3 November 644 M, Madinah, Arab
Saudi
Dimakamkan: Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi
Anak: Abdullah bin Umar, Hafsah binti Umar
Sumber: wikipedia