Sejarah Awal Mulanya
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Menurut catatan sejarah,
peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan seorang penguasa
Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan
puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung
dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak, bahwa dinasti ini
betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada dimensi politis dalam
kegiatan tersebut. Peringatan maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap
dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu
Sa'id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak, mempopulerkannya pada masa pemerintahan
Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193M). Waktu itu tujuannya untuk
memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para
tentara yang lengah bersiap menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang
ingin merebut tanah suci Jerusalem dari tangan kaum Muslimin.
Menurut
sumber lain, orang pertama yang mencetuskan ide memperingati maulid Nabi SAW
justru Malik Mudzaffar Abu Said, yang lebih dikenal sebagai Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi (orang Inggris menyebutnya Saladin). Pemuka Islam yang kharismatik
ini pernah mengundang pujangga terkenal AI-Hafidz Ibnu Dahiah untuk menggubah
naskah riwayat singkat perjuangan Nabi Muhammad SAW. Naskah itu kemudian diberi
judul At-Janwir If Maulid al-Basyir an-Nashir dan Ibnu Dahiah diberi honorarium
1.000 dinar. Peringatan maulid perdana yang diadakan oleh Malik Mudzaffar
ternyata menimbulkan surprise pada banyak kalangan. Betapa tidak, kala itu
Malik mengundang para ulama, para sufi dan kalangan pemuka dan pembesar beserta
masyarakat Islam lainnya untuk ikut menyemarakkan peringatan hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW tersebut. Dalam peringatan besar-besaran itu di sembelih
5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam dan dimasak 1.000.000 roti bermentega.
Konon biaya keseluruhan peringatan itu mencapai 3.000.000 dinar, selain
honorarium penulisan naskah di atas. (HA Fuad Said, Yayasan Masagung, 1985).
Dalam peringatan itu seorang
sufi terkenal. Syekh Hasan Bashri berkomentar: “Seandainya saya memiliki emas
sebesar bukit Uhud niscaya akan saya sumbangkan seluruhnya untuk keperluan
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW...." Banyak kalangan berpendapat bahwa
ungkapan dan pujian tersebut tidak berlebihan kalau diukur dan dibandingkan
dengan koberhasilan Nabi Muhammad SAW membawa manusia dari peradaban jahili
menuju peradaban islami.
Al-Qur'an memang tidak memerintahkan secara ekspiisit agar umat Islam memperingati
maulid Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal dengan perayaan atau
seremonial tertentu. Allah dan RasulNya juga tidak memerintahkan umat Islam
setiap tahun mem peri ngati hari Hijrah, hari Isra' Mi'raj, hari watat Nabi dan
hari-hari bersejarah lainnya. Namun andaikata peringatan maulid Nabi itu
diadakan dengan cara-cara yang islami dan dengan tujuan yang postif untuk
syi'ar dan dakwah agama, tentunya perbuatan itu bukan termasuk bid'ah. Sebab
yang dapat dikatakan bid'ah menurut kesepakatan Ulama hanyalah melakukan
rekayasa dalam ibadah mahdhah, seperti shalat fardhu, sedangkan memperingati
maulid Nabi Muhammad bukan termasuk ibadah mahdhah.
Pembaruan Pandangan
Hidup
Nabi Muhammad merupakan sosok
pemimpin yang diutus di tengah-tengah masyarakat 'barbar' yang sama sekali
tidak mengenal kode etik kemanusiaan. Masyarakat kala itu tidak mempunyai
pandangan hidup yang jelas. Akidah kabur, moral bejat, wanita hanya menjadi
komoditi kepuasan natsu rendah dan serakah dan lain sebagainya. Tegasnya, abad
itu di kenal dengan sebutan dark ages, di mana yang kuat menindas yang lemah,
sementara yang berkuasa menunggang rakyatnya.
Dengan
diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah dalam waktu yang relatif singkat, yaitu
23 tahun (13 tahun di Makkah, 11 di Madinah), masyarakat Arab yang sama sekali
tidak mengenal tatakrama kehidupan itu dengan izin Allah ternyata berubah
secara drastis. Mereka ternyata bersatu. Yang semula menjadi lawan akhirnya
menjadi kawan dan bersaudara di bawah panji-panji Tauhid, Juga yang semula
kacau dan bermusuhan, akhirnya menjadi tenang dan damai. Yang semula takabur
akhirnya menjadi rendah hati. Mereka dapat bersatu bukan karena faktor
nasionalisme, tetapi karena faktor akidah, di bawah panji-panji Islam yang
memiliki prinsip ajaran universal dan kosmopolitan (rahmatan lil 'alamin).
Tak
berlebihan apa yang dikatakan Syekh Khaiil Yasin di dalam bukunya, Muhammad
'Inda al- Viama-ial-Harb, dengan mengutip pendapat George Toldes bahwa dengan
datangnya Muhammad, kebiadaban dan keliaran bangsa Arab berhasil diatasi.
Muhammad dengan agama yang dibawanya ternyata berhasil memberikan pancaran
cahaya kepada jutaan hati
manusia sehingga mereka hidup
damai dalam naungan kepemimpiriannya.
Keberhasilan
Nabi Muhammad mengubah struktur kehidupan bangsa Arab bukan melalui ayunan
pedang sebagaimana dituduhkan oleh orientalis Barat, tetapi dilatarbelakangi
oleh kepemimpinan yang bijak bestari. Nabi benar-benar menjadi panutan (uswah)
dan idola serta tumpuan umat. Sang tokoh yang kharismatik dan sempurna itu
ternyata merupakan pemimpin yang amat demokratis sepanjang sejarah, bukan
penganut 'sistem kebangsaan' yang sempit apalagi sukuisme (nepotis) yang picik.
la tidak pernah memihak secara membabi buta terhadap siapa pun, termasuk
terhadap putri kandungnya sendiri, Itulah antara lain tipologi kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW, pemimpin terbesar dan tersukses
sepanjang zaman.
Kesuksesannya
dalam membawa panji-panji Islam tidak terletak pada singgasana yang gemerlapan,
tetapi pada beberapa kekuatan dan keistimewaannya, antara lain phbadinya yang
sederhana, merakyat (populis) dan bersahaja, tetapi sekaligus mengandung
kekuatan dan pesona tersendiri. Berbeda dengan pemimpin-peminpin kaliber dunia
yang tidak merakyat sehingga kurang dicintai rakyat, Nabi Muhammad SAW
merupakan seorang pemimpin yang senantiasa merasakan suka duka kehidupan
bersama rakyat yang dipimpinnya, sangat memahami aspirasi urhatnya dan selalu
melayani mereka. la bukan tipe pemimpin yang berwatak menara gading seperti
kebanyakan pemimpin dan penguasa, yang hanya pandai berbicara dan menyalahkan
orang lain yang dianggap tidak sesuai dengan jalan pikirannya sendiri. Nabi SAW
benar-benar mau berintegrasi dengan umat tanpa pandang bulu.
Suri Tauladan Yang
Terbaik
Lebih dari itu, beliau selalu
mengunjungi orang sakit tanpa memandang status sosial, di samping selalu ikut
mengantar jenazah. Undangan dari budak untuk makan di gubuknya yang teramat
bersahaja, biasanya takkan dilayani seorang penguasa. Tetapi Nabi Muhammad SAW
justru melayaninya. Bahkan pakaiannya yang koyak dijahitnya sendiri, walaupun
kalau ia mau, ia dapat saja menyuruh orang mengerjakannya. Kalau berjabat
tangan, Nabi tidak pernah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman tangan
orang lain. Nabi juga tidak pernah berpaling sebelum orang lain berpaling
darinya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan
Al Quran: "Sungguh
pada diri Rasulullah kamu dapatkan suti tauladan yang indah, (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap (rahmat)' Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah" (QS al-Ahzab : 21)
Dengan demikian menjadi
jelas bagi kita bahwa integritas Nabi Muhammad sebagai utusan Allah benar-benar
mengagumkan, sehingga Khurshid Ahmad di dalam bukunya The Religion of Islam,
tegas-tegas menyatakan; "Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kalau orang
seperti Muhammad diserahi tanggung jawab sebagai pimpinan tunggal dunia modern
ini, dia pasti akan berhasil memecahkan semua persoalan yang pada gilirannya
akan membawa dunia ke arah perdamaian dan kebahagiaan..."
sumber: media PHBI dan kajian ilmu agama Islam tentang maulid nabi.
ilmu yg baik
BalasHapus