Selasa, 25 Desember 2012

Risalah Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW

Sejarah Awal Mulanya Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 

Menurut catatan sejarah, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak, bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada dimensi politis dalam kegiatan tersebut. Peringatan maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa'id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak, mempopulerkannya pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193M). Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang lengah bersiap menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Jerusalem dari tangan kaum Muslimin.

Menurut sumber lain, orang pertama yang mencetuskan ide memperingati maulid Nabi SAW justru Malik Mudzaffar Abu Said, yang lebih dikenal sebagai Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (orang Inggris menyebutnya Saladin). Pemuka Islam yang kharismatik ini pernah mengundang pujangga terkenal AI-Hafidz Ibnu Dahiah untuk menggubah naskah riwayat singkat perjuangan Nabi Muhammad SAW. Naskah itu kemudian diberi judul At-Janwir If Maulid al-Basyir an-Nashir dan Ibnu Dahiah diberi honorarium 1.000 dinar. Peringatan maulid perdana yang diadakan oleh Malik Mudzaffar ternyata menimbulkan surprise pada banyak kalangan. Betapa tidak, kala itu Malik mengundang para ulama, para sufi dan kalangan pemuka dan pembesar beserta masyarakat Islam lainnya untuk ikut menyemarakkan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut. Dalam peringatan besar-besaran itu di sembelih 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam dan dimasak 1.000.000 roti bermentega. Konon biaya keseluruhan peringatan itu mencapai 3.000.000 dinar, selain honorarium penulisan naskah di atas. (HA Fuad Said, Yayasan Masagung, 1985).

Dalam peringatan itu seorang sufi terkenal. Syekh Hasan Bashri berkomentar: “Seandainya saya memiliki emas sebesar bukit Uhud niscaya akan saya sumbangkan seluruhnya untuk keperluan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW...." Banyak kalangan berpendapat bahwa ungkapan dan pujian tersebut tidak berlebihan kalau diukur dan dibandingkan dengan koberhasilan Nabi Muhammad SAW membawa manusia dari peradaban jahili menuju peradaban islami.

Al-Qur'an memang tidak memerintahkan secara ekspiisit agar umat Islam memperingati maulid Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal dengan perayaan atau seremonial tertentu. Allah dan RasulNya juga tidak memerintahkan umat Islam setiap tahun mem peri ngati hari Hijrah, hari Isra' Mi'raj, hari watat Nabi dan hari-hari bersejarah lainnya. Namun andaikata peringatan maulid Nabi itu diadakan dengan cara-cara yang islami dan dengan tujuan yang postif untuk syi'ar dan dakwah agama, tentunya perbuatan itu bukan termasuk bid'ah. Sebab yang dapat dikatakan bid'ah menurut kesepakatan Ulama hanyalah melakukan rekayasa dalam ibadah mahdhah, seperti shalat fardhu, sedangkan memperingati maulid Nabi Muhammad bukan termasuk ibadah mahdhah. 

Pembaruan Pandangan Hidup

Nabi Muhammad merupakan sosok pemimpin yang diutus di tengah-tengah masyarakat 'barbar' yang sama sekali tidak mengenal kode etik kemanusiaan. Masyarakat kala itu tidak mempunyai pandangan hidup yang jelas. Akidah kabur, moral bejat, wanita hanya menjadi komoditi kepuasan natsu rendah dan serakah dan lain sebagainya. Tegasnya, abad itu di kenal dengan sebutan dark ages, di mana yang kuat menindas yang lemah, sementara yang berkuasa menunggang rakyatnya.

Dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah dalam waktu yang relatif singkat, yaitu 23 tahun (13 tahun di Makkah, 11 di Madinah), masyarakat Arab yang sama sekali tidak mengenal tatakrama kehidupan itu dengan izin Allah ternyata berubah secara drastis. Mereka ternyata bersatu. Yang semula menjadi lawan akhirnya menjadi kawan dan bersaudara di bawah panji-panji Tauhid, Juga yang semula kacau dan bermusuhan, akhirnya menjadi tenang dan damai. Yang semula takabur akhirnya menjadi rendah hati. Mereka dapat bersatu bukan karena faktor nasionalisme, tetapi karena faktor akidah, di bawah panji-panji Islam yang memiliki prinsip ajaran universal dan kosmopolitan (rahmatan lil 'alamin).

Tak berlebihan apa yang dikatakan Syekh Khaiil Yasin di dalam bukunya, Muhammad 'Inda al- Viama-ial-Harb, dengan mengutip pendapat George Toldes bahwa dengan datangnya Muhammad, kebiadaban dan keliaran bangsa Arab berhasil diatasi. Muhammad dengan agama yang dibawanya ternyata berhasil memberikan pancaran cahaya kepada jutaan hati
manusia sehingga mereka hidup damai dalam naungan kepemimpiriannya.

Keberhasilan Nabi Muhammad mengubah struktur kehidupan bangsa Arab bukan melalui ayunan pedang sebagaimana dituduhkan oleh orientalis Barat, tetapi dilatarbelakangi oleh kepemimpinan yang bijak bestari. Nabi benar-benar menjadi panutan (uswah) dan idola serta tumpuan umat. Sang tokoh yang kharismatik dan sempurna itu ternyata merupakan pemimpin yang amat demokratis sepanjang sejarah, bukan penganut 'sistem kebangsaan' yang sempit apalagi sukuisme (nepotis) yang picik. la tidak pernah memihak secara membabi buta terhadap siapa pun, termasuk terhadap putri kandungnya sendiri, Itulah antara lain tipologi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, pemimpin terbesar dan tersukses
sepanjang zaman.

Kesuksesannya dalam membawa panji-panji Islam tidak terletak pada singgasana yang gemerlapan, tetapi pada beberapa kekuatan dan keistimewaannya, antara lain phbadinya yang sederhana, merakyat (populis) dan bersahaja, tetapi sekaligus mengandung kekuatan dan pesona tersendiri. Berbeda dengan pemimpin-peminpin kaliber dunia yang tidak merakyat sehingga kurang dicintai rakyat, Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pemimpin yang senantiasa merasakan suka duka kehidupan bersama rakyat yang dipimpinnya, sangat memahami aspirasi urhatnya dan selalu melayani mereka. la bukan tipe pemimpin yang berwatak menara gading seperti kebanyakan pemimpin dan penguasa, yang hanya pandai berbicara dan menyalahkan orang lain yang dianggap tidak sesuai dengan jalan pikirannya sendiri. Nabi SAW benar-benar mau berintegrasi dengan umat tanpa pandang bulu.

Suri Tauladan Yang Terbaik
Lebih dari itu, beliau selalu mengunjungi orang sakit tanpa memandang status sosial, di samping selalu ikut mengantar jenazah. Undangan dari budak untuk makan di gubuknya yang teramat bersahaja, biasanya takkan dilayani seorang penguasa. Tetapi Nabi Muhammad SAW justru melayaninya. Bahkan pakaiannya yang koyak dijahitnya sendiri, walaupun kalau ia mau, ia dapat saja menyuruh orang mengerjakannya. Kalau berjabat tangan, Nabi tidak pernah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman tangan orang lain. Nabi juga tidak pernah berpaling sebelum orang lain berpaling darinya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan

Al Quran: "Sungguh pada diri Rasulullah kamu dapatkan suti tauladan yang indah, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat)' Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (QS al-Ahzab : 21)

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa integritas Nabi Muhammad sebagai utusan Allah benar-benar mengagumkan, sehingga Khurshid Ahmad di dalam bukunya The Religion of Islam, tegas-tegas menyatakan; "Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kalau orang seperti Muhammad diserahi tanggung jawab sebagai pimpinan tunggal dunia modern ini, dia pasti akan berhasil memecahkan semua persoalan yang pada gilirannya akan membawa dunia ke arah perdamaian dan kebahagiaan..."

sumber: media PHBI dan kajian ilmu agama Islam tentang maulid nabi.















1 komentar: