Meraih Ilmu Yang Bermanfaat
Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyebutkan definisi Ilmu yang bermanfaat dengan dua penjelasan yang lafazhnya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi dan sama sekali tidak bertentangan.
Setelah kita memahami definisi ilmu yang bermanfaat, dan bahwasanya hafalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan materi kajian, maupun gelar dan titel yang disandang seseorang, tidaklah menjadi jaminan bahwa ilmu yang dimilikinya adalah ilmu yang bermanfaat yang akan selalu membimbingnya dalam menuju ridha Allah I, apalagi dengan melihat kenyataan di jaman sekarang banyak orang yang dipuji karena hal-hal di atas, tapi sama sekali tidak terlihat pengaruh dan manfaat ilmu yang dipelajarinya dalam akhlak dan tingkah lakunya.
Selain mengusahakan keempat faktor di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah faktor do’a, karena bagaimanapun taufik untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat ada di tangan Allah Ta’ala semata-mata. Oleh karena itulah, di antara do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ucapan beliau:
sumber: tulisan Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, MA
Merupakan
hal yang sudah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, terlebih lagi
oleh para penuntut ilmu agama, keutamaan besar yang Allah sediakan bagi
orang-orang yang mempelajari ilmu agama. Keutamaan tersebut disebutkan
dalam banyak ayat Al Qur-an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta keterangan dari para ulama salaf.
Sampai-sampai
Imam Ibnul Qayyim dalam juz pertama dari kitab beliau “Miftahu Daaris
Sa’adah” memuat pembahasan khusus tentang keutamaan dan kemuliaan
mempelajari ilmu agama, dalam bab yang berjudul: Keutamaan
dan kemuliaan (mempelajari) ilmu (agama), penjelasan tentang besarnya
kebutuhan untuk (mempelajari) ilmu ini, serta tergantungnya kesempurnaan
(iman) dan keselamatan seorang hamba di dunia dan akhirat kepada ilmu
(agama) ini.
Dalam
bab tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan lebih dari seratus lima puluh
segi keutamaan ilmu, berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta keterangan para ulama
salaf rahimahumullah, sehingga pembahasan tentang keutamaan ilmu yang
beliau sebutkan dalam kitab tersebut adalah pembahasan yang sangat
lengkap dan menyeluruh, yang mungkin tidak kita dapati di kitab-kitab
para ulama lainnya.
Namun
sayangnya, kebanyakan dari kita – termasuk para penuntut ilmu sendiri –
sering lalai dan kurang menyadari bahwa ilmu yang dimaksud dalam
ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut bukanlah sekedar teori belaka, yang hanya terlihat dalam
bentuk hapalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam
berceramah dan menyampaikan materi kajian, atau gelar dan titel yang
disandang, tanpa adanya wujud nyata dan pengaruh dari kemanfaatan ilmu
tersebut bagi orang yang mempelajarinya.
Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Bukanlah
ilmu itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits, akan tetapi ilmu
(yang bermanfaat) itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allah
Ta’ala)”.
Dalam atsar shahih lainnya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga berkata dihadapan sahabat-sahabatnya, “Sesungguhnya
kalian (sekarang) berada di zaman yang banyak terdapat orang-orang yang
berilmu tapi sedikit yang suka berceramah, dan akan datang setelah
kalian nanti suatu zaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai
berceramah tapi sedikit orang yang berilmu”.
Definisi Ilmu Yang Bermanfaat (Al ‘Ilmu An Naafi’)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyebutkan definisi Ilmu yang bermanfaat dengan dua penjelasan yang lafazhnya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi dan sama sekali tidak bertentangan.
Dalam kitab beliau “Fadhlu ‘ilmis salaf ‘ala ‘ilmil khalaf” (hal. 6) beliau berkata: “Ilmu
yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama
dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari
pemahaman tersebut dari penjelasan para sahabat Rasulullah radhiyallahu
‘anhum, para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat),
dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami
kandungan Al Qur-an dan Hadits. (Begitu pula) dalam (memahami
penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud,
amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan
sifat-sifat Allah Ta’ala) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan
terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat)
yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak
benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan
maknanya. Semua ini sangat cukup (untuk mendapatkan ilmu yang
bermanfaat) bagi orang yang berakal dan merupakan kesibukkan (yang
bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian dan berkeinginan besar
(untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat)”.
Adapun dalam kitab beliau yang lain “Al Khusyuu’ fish shalaah” (hal. 16) beliau berkata, “Ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang masuk (dan menetap) ke dalam relung
hati (manusia), yang kemudian melahirkan rasa tenang, takut, tunduk,
merendahkan dan mengakui kelemahan diri di hadapan Allah Ta’ala”.
Kedua
penjelasan Imam Ibnu Rajab ini sepintas kelihatannya berbeda dan tidak
berhubungan, akan tetapi kalau diamati dengan seksama kita akan dapati
bahwa kedua penjelasan tersebut sangat bersesuaian dan bahkan saling
melengkapi. Karena pada penjelasan definisi yang pertama, beliau ingin
menjelaskan sumber ilmu yang bermanfaat, yaitu
ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits yang shahih (benar periwayatannya)
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dipahami
berdasarkan penjelasan dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan
orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka. Ini berarti, seseorang
tidak akan mungkin sama sekali bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat
tanpa mengambilnya dari sumber Al ‘Ilmu An Naafi’ yang satu-satunya ini.
Adapun dalam penjelasan definisi yang kedua, beliau ingin menjelaskan hasil dan pengaruh dari ilmu yang bermanfaat,
yaitu menumbuhkan dalam hati orang yang memilikinya rasa tenang, takut
dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Ini berarti bahwa ilmu
yang cuma pandai diucapkan dan dihapalkan oleh lidah, tetapi tidak
menyentuh – apalagi masuk – ke dalam hati manusia, maka ini sama sekali
bukanlah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu seperti ini justru akan menjadi
bencana bagi orang yang memilikinya, bahkan menjadikan pemiliknya
terkena ancaman besar – semoga Allah Ta’alashallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits yang shahih. melindungi kita semua – termasuk ke
dalam tiga golongan manusia yang pertama kali menjadi bahan bakar api
neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi
Jenis
ilmu inilah yang dimiliki oleh orang-orang Khawarij dan
kelompok-kelompok bid’ah lainnya yang menjadikan mereka menyimpang
sangat jauh dari pemahaman islam yang benar, sebagaimana yang
digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau
menerangkan sifat-sifat Khawarij dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
“Mereka
selalu mengucapkan kata-kata yang baik (dan indah kedengarannya),
mereka (mahir) dalam membaca (dan menghafal) Al Qur-an. Akan tetapi
bacaan tersebut tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam
hati mereka), mereka keluar dengan cepat dari agama ini seperti anak
panah yang (menembus dan) keluar dengan cepat dari sasarannya…”.
Sebaliknya,
Allah Ta’ala memuji orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan
meneguhkan keimanan mereka dengan menjadikan Al Qur-an sebagai sumber
petunjuk yang menetap di dalam hati mereka, Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
“Sebenarnya, Al Qur-an itu adalah ayat-ayat yang jelas (yang terdapat) di dalam dada (hati) orang-orang yang diberi ilmu. (QS Al ‘Ankabuut: 49).
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya: Al
Qur-an adalah ayat-ayat yang nyata dan jelas sebagai petunjuk kepada
(jalan) yang benar, dalam perintah, larangan maupun berita (yang
dikandung)nya, dan Allah memudahkan bagi orang-orang yang berilmu untuk
menghafal, membaca dan memahami (kandungan)nya”.
Syarat Mendapatkan Ilmu Yang Bermanfaat
Setelah kita memahami definisi ilmu yang bermanfaat, dan bahwasanya hafalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan materi kajian, maupun gelar dan titel yang disandang seseorang, tidaklah menjadi jaminan bahwa ilmu yang dimilikinya adalah ilmu yang bermanfaat yang akan selalu membimbingnya dalam menuju ridha Allah I, apalagi dengan melihat kenyataan di jaman sekarang banyak orang yang dipuji karena hal-hal di atas, tapi sama sekali tidak terlihat pengaruh dan manfaat ilmu yang dipelajarinya dalam akhlak dan tingkah lakunya.
Maka
setelah itu, timbul pertanyaan, bagaimanakah cara untuk mendapatkan
ilmu yang bermanfaat itu? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat,
bagaimanakah cara untuk menjadikan ilmu yang kita pelajari bermanfaat
bagi kita dalam membimbing kita untuk semakin dekat kepada Allah Ta’ala,
sehingga semakin banyak ilmu yang kita pelajari semakin kuat pula
keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah?
Untuk
menjawab pertanyaan penting di atas, dengan memohon taufik dari Allah
Ta’ala, kami akan menyampaikan kesimpulan dari tulisan Imam Ibnu Qayyim
Al Jauziyyah tentang cara mengambil manfaat dari Al Qur-an (termasuk
ilmu agama lainnya secara keseluruhan) dan syarat-syaratnya, dalam kitab
beliau “Al Fawaaid” (hal. 9-10), dengan tambahan penjelasan dari kami
untuk mempermudah dalam memahaminya.
Dalam
pembahasan tersebut Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa secara umum untuk
bisa mengambil pengaruh dan manfaat yang maksimal dari segala sesuatu
yang ingin kita ambil pengaruh darinya, maka ada empat faktor yang harus diwujudkan,
semakin sempurna keempat faktor ini terwujud maka semakin maksimal pula
pengaruh yang kita dapatkan darinya. Keempat faktor itu adalah: [1] sumber pengaruh yang baik, [2] media untuk menerima pengaruh, [3] upaya untuk mendapatkan pengaruh tersebut, dan [4] upaya untuk menghilangkan penghalang dan penghambat yang menghalangi sampainya pengaruh tersebut.
Dalam
hubungannya dengan mengambil manfaat dan pengaruh yang baik dari ilmu
agama yang kita pelajari, keempat faktor tersebut terangkum dalam
kalimat yang ringkas tapi sarat makna dalam firman Allah Ta’ala,
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang mengkonsentrasikan
pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf:37).
Penjelasan tentang keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor Pertama: Sumber Pengaruh (Ilmu) yang Baik
Ini
diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat peringatan (pelajaran)”), artinya,
kalau kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu
yang kita pelajari, maka kita benar-benar harus memilih sumber rujukan
ilmu yang terjamin kebaikannya.
Karena
tujuan kita mempelajari ilmu agama tentu saja bukan hanya untuk sekedar
menambah wawasan atau sekedar teori yang hanya berupa hafalan yang kuat
atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah, tapi tujuan kita
adalah agar ilmu tersebut memberikan manfaat dalam membimbing kita untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Sehingga
sumber ilmu yang kita jadikan rujukan benar-benar harus terbukti bisa
mewujudkan tujuan tersebut.
Oleh
karena itulah, Al Qur-an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sumber ilmu bermanfaat yang paling
utama karena keduanya adalah wahyu dari Allah Ta’ala yang memiliki
sifat-sifat yang maha sempurna. Demikian pula kitab-kitab yang ditulis
oleh para ulama salaf dan para ulama yang mengikuti petunjuk mereka,
karena kitab-kitab ditulis oleh orang-orang yang benar-benar memiliki
keikhlasan, ilmu dan ketakwaan, sehingga manfaatnya dalam mentransfer
kebaikan dan ketakwaan kepada orang yang mengkajinya jelas lebih besar
dari pada kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki
sifat-sifat tersebut.
Imam
Ibnul Jauzi dalam kitab beliau “Shifatush shafwah” (4/122) menukil
ucapan Hamdun bin Ahmad Al Qashshar ketika beliau ditanya, “Apa sebabnya ucapan para ulama salaf lebih besar manfaatnya dibandingkan ucapan kita?” Beliau menjawab, “Karena
mereka berbicara (dengan niat) untuk kemuliaan Islam, keselamatan diri
(dari azab Allah Ta’ala), dan mencari ridha Allah Ta’ala, adapun kita
berbicara (dengan niat untuk) kemuliaan diri (mencari popularitas),
kepentingan dunia (materi), dan mencari keridhaan manusia”.
Demikian
pula termasuk dalam posisi sebagai sumber pengaruh dalam hal ini adalah
seorang da’i dan ustadz yang menyampaikan ceramah atau kajian ilmu
agama. Oleh karena itu, memilih pendidik ilmu agama yang baik dalam ilmu
dan ketakwaannya adalah kewajiban yang selalu ditekankan oleh para
ulama ahlus sunnah bagi para penuntut ilmu. Karena kalau seorang da’i
atau ustadz tidak memiliki ketakwaan dalam dirinya, maka bagaimana
mungkin dia bisa menjadikan muridnya memiliki ketakwaan sedangkan dia
sendiri tidak memilikinya? Salah satu ungkapan Arab yang terkenal
mengatakan:
فاقِِدُ الشيء لا يُعْطِيه
“Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa”.
Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya
ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu
mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu)
agamamu”.
Faktor
penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan
para sahabat Nabi r menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman
dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka
adalah Nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allah
Ta’ala, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dalam
firman-Nya,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ
“Bagaimana
mungkin (tidak mungkin) kalian (wahai para sahabat Nabi), (sampai)
menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan
Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing)” (QS Ali ‘Imraan:101).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna ayat di atas: sesungguhnya
kekafiran itu sangat jauh dan tidak akan mungkin terjadi pada diri
kalian (wahai para sahabat Nabi), karena ayat-ayat Allah turun kepada
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu siang dan malam, yang
kemudian beliau membacakan dan menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada
kalian”.
Contoh
lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang
disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan
tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri dalam kitab “Siyaru A’laamin Nubala’” (2/576), ketika Khalid bin Shafwan menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik dengan berkata,
“Dia
adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan
apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya,
kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan
tersebut…dan seterusnya”. Setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata, “Cukuplah
(keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama
mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah
mereka?”
Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Waasi’
tentang sedikitnya pengaruh ceramah yang disampaikannya dalam merubah
akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Waasi’ berkata,
“Wahai
Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak
terpengaruh dengan ceramah yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya
adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika
keluarnya (ikhlas) dari dalam hati maka (akan mudah) masuk ke dalam
hati (orang yang mendengarnya)”.
Faktor Kedua: Media untuk Menerima Pengaruh dan Manfaat dari Ilmu
Dalam
hal ini adalah hati yang bersih, ini yang diisyaratkan dalam potongan
ayat di atas, (“bagi orang-orang yang mempunyai hati”). Artinya, kalau
kita ingin mendapatkan pengaruh yang baik dan manfaat dari ilmu yang
kita pelajari, maka kita benar-benar harus membersihkan dan menyiapkan
hati kita, karena ilmu yang bermanfaat tidak akan masuk dan menetap ke
dalam hati yang kotor dan dipenuhi noda syahwat atau syubhat.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Yang
dimaksud dengan hati (sebagai media untuk menerima manfaat dan pengaruh
dari ilmu di sini) adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat
atau syubhat) yang bisa memahami (peringatan) dari Allah,
sebagaimana (yang disebutkan dalam) firman-Nya,
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآَنٌ مُبِينٌ (69) لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا
“Al
Qur-an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi
penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang
yang hidup (hatinya)” (QS Yaasiin: 69-70).
Oleh
karena itu, upaya untuk melakukan tazkiyatun nufus (pembersihan hati
dan pensucian jiwa) adalah hal yang wajib dan harus mendapat perhatian
besar bagi para penuntut ilmu yang menginginkan manfaat yang baik dari
ilmu yang dipelajarinya.
Secara
ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al Qur-an dan
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnul Qayyim
menyebutkan bahwa untuk mengupayakan pembersihan dan pensucian jiwa,
serta mengobati penyakit-penyakit hati yang menghalangi masuknya ilmu
yang bermanfaat, maka ada tiga macam terapi penyembuhan yang harus
ditempuh, yang beliau istilahkan dengan “madaarush shihhah” (ruang
lingkup penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang diterapkan oleh
para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara penyembuhan
tersebut adalah:
1). Hifzhul quwwah
(memelihara kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak
melakukan ibadah dan amalan shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti
mambaca Al Qur-an dengan menghayati kandungan maknanya, berzikir,
mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan
lain-lain.
2). Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga
hati dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara menjauhkan diri
dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan
syariat lainnya, karena dosa-dosa tersebut akan semakin memperparah dan
menambah penyakit hati.
3). Istifragul mawaaddil faasidah
(menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam
hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang
pernah dilakukan), yaitu dengan cara beristigfar (meminta pengampunan)
dan bertaubat dengan taubat yang nashuhTa’ala. (ikhlas dan
bersungguh-sungguh) kepada Allah
Faktor Ketiga: Upaya untuk Mendapatkan Pengaruh Baik dan Manfaat dari Ilmu
Yaitu
dengan cara mengkonsentrasikan pendengaran kita terhadap nasehat dan
peringatan yang disampaikan di hadapan kita. Ini yang diisyaratkan dalam
potongan ayat di atas, (“Atau orang yang mengkonsentrasikan
pendengarannya”).
Maksud
dari faktor yang ketiga ini adalah, setelah kita mengupayakan sumber
pengaruh ilmu yang baik, demikian pula media untuk menerima pengaruh
baik tersebut, maka mestinya pengaruh baik dan manfaat dari ilmu tetap
tidak akan didapat tanpa ada penghubung yang menghubungkan antara sumber
dan media tersebut. Maka dalam hal ini, banyak membaca Al Qur-an dengan
berusaha mengahayati kandungan maknanya, menghadiri majelis ilmu yang
bermanfaat, mendengarkan ceramah dan menelaah buku-buku sumber ilmu yang
bermanfaat adalah upaya yang harus kita lakukan dan terus ditingkatkan
agar manfaat dan pengaruh baik dari ilmu makin maksimal kita dapatkan.
Faktor Keempat: Upaya untuk Menghilangkan Penghalang dan Penghambat yang Menghalangi Sampainya Pengaruh Baik dari Ilmu yang Bermanfaat.
Ini
diisyaratkan dalam potongan ayat di atas, (“Sedang dia menghadirkan
(hati)nya”). Ini berarti bahwa kelalaian dan berpalingnya hati dari
memahami dan menghayati kandungan ilmu ketika ketika kita membaca Al
Qur-an, menhadiri majelis ilmu, atau mendengarkan ceramah, ini adalah
penghambat utama yang mengahalangi sampainya pengaruh dan manfaat dari
ilmu yang sedang kita baca atau dengarkan.
Penutup
Selain mengusahakan keempat faktor di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah faktor do’a, karena bagaimanapun taufik untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat ada di tangan Allah Ta’ala semata-mata. Oleh karena itulah, di antara do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ucapan beliau:
اللهم إني أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ومن نفس لا تشبع ومن دعوة لا يستجاب لها
“Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak
bermanfaat, dari hati yang tidak mau tunduk (kepada-Mu), dari jiwa yan
tidak pernah puas (dengan pemberian-Mu), dan dari do’a yang tidak
dikabulkan”.
Yang
terakhir, perlu kita ingat bahwa kesungguhan dan upaya maksimal kita
dalam mengusahakan semua faktor di atas sangat menentukan – dengan
taufik dari Allah Ta’ala – dalam berhasil/tidaknya kita mendapatkan
manfaat dan pengaruh baik dari ilmu yang kita pelajari, karena Allah
Ta’ala akan memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada seseorang sesuai
dengan kesungguhan dan upaya maksimal orang tersebut dalam melakukan
sebab-sebab untuk mencapai kebaikan dalam agama ini.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan
orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan
hawa nafsu) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami.Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al ‘Ankabuut:69).
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika mengomentari ayat di atas berkata, “(Dalam
ayat ini) Allah Ta’ala menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan
perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna
(mendapatkan) hidayah (dari Allah Ta’ala) adalah orang yang paling besar
perjuangan dan kesungguhannya”.
Akhirnya,
kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah Ta’ala
dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya
yang maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua
taufik dan hidayah-Nya untuk bisa mendapatkan manfaat dan pengaruh yang
baik dari ilmu yang kita pelajari, serta menjadikan kita semua tetap
istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti,
Aamiin.
sumber: tulisan Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar