Minggu, 17 November 2019

Sosok Khalifah Umar bin Khathab

UMAR BIN KHATHAB DAN IBU PEMASAK BATU

Wahai saudaraku, kali ini kami ajak untuk menyelami kisah seorang Khalifah pada zaman Rasul ALLAH, salah seorang Khalifah yang sangat kita kagumi. Seorang bertubuh besar dan berfisik kuat, tapi berhati sangat lembut dan berakhlak sangat mulia. Seorang ikhwan bernama Umar bin Khathab.

Khalifah kedua ini dikenal sebagai pribadi yang tegas dan kuat. Beliau termasuk sahabat yang sangat dikasihi Nabi Muhammad. Sebelum memeluk Islam, beliau bagai lawan tanpa tanding. Musuh-musuhnya sering kali terpukul mundur sebelum sempat melawan jika mengetahui yang akan menghadapi mereka adalah ‘Umar bin Khathab.

Saat jumlah umat Islam masih sedikit, Rasul ALLAH pernah berdoa agar Islam dikuatkan oleh salah satu dari kedua Umar, yaitu Umar bin Abdul Mutholib atau Umar bin Khathab. Ternyata ALLAH memberikan Umar bin Khathab sebagai karunia untuk umat Islam.
‘Umar masuk Islam setelah mendengar lantunan surat Thoohaa (surat ke1-8 dalam Al-Quran) yang dibacakan adik perempuannya, Fathimah.  Yakni di tahun keenam sesudah Baginda Muhammad diangkat sebagai Nabi ALLAH (sekitar 6 Hijjriyah). Beliau juga dikenal sebagai Jenderalnya umat Islam. Beliau sangat keras dalam membela agama ALLAH.

Umar bin Khathab adalah salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan kaum Quraisy. Begitu pemberani dan tegasnya beliau hingga saat dakwah Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi, Umar mengusulkan dakwah dilakukan secara terbuka.
Pada masa Umar menjadi Khalifah, daerah kekuasaan Islam bertambah luas. Kerajaan Persia dan Romawi Timur dapat ditaklukan dalam kurun waktu satu tahun (636-637 Masehi). Beliau dipanggil “Amirul Mukminin” (Pemimpin orang mukmin). Pemimpin yang sederhana dan peduli dengan rakyatnya ini, wafat setelah dibunuh Abu Lukluk saat hendak memimpin sholat (23 H/644 M). Makam beliau didekatan dengan makam Abu Bakar dan Rasul ALLAH.

Ini sebuah kisah di zaman kekhalifahan Umar bin Khathab yang membuat kita miris menangis membacanya. Walaupun bukan pertama kali kudengar kisahnya, membacanya lagi dalam kedewasaan dan kematangan (meresapi atas keteladanannya), membuat airmata jatuh dalam keharuan.

Suatu masa dalam kepemimpinan Umar bin Khathab, terjadi “Tahun Abu”. Masyarakat Arab menderita masa paceklik berat. Hujan tak lagi turun, pepohonan mengering, hewan-hewan mati. Tanah tempat berpijak hampir menghitam layaknya abu (semoga ALLAH SWT. meringankan ujian kekeringan di beberapa belahan negeri kita, Aamiiin..).
Putus asa mendera dimana-mana. Saat itu Umar sang Khalifah melakoni pribadi yang sebenar-benarnya sebagai pemimpin. Rakyatnya diurus dengan cermat dan saksama, sepenuh hati. Setiap hari beliau menginstruksikan aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Tapi hatinya pedih, kecemasan kian menebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Yaa.. ALLAH, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.”
Umar bin Khathab khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Sang pemberani itu hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan beliau meminta pembantunya, mengurangi panas minyak dengan api. Minyak dimasak, namun perutnya makin panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, perutnya ditabuh seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”

Begitulah saudaraku, sedikit cuplikan kehidupan seorang Umar bin Khathab. Subhanalloh, sungguh mulia sang Amirul Mukminin, tak berpikir olehnya untuk menikmati jabatan dengan menumpuk harta atau bahan pangan untuk dirinya. Padahal dengan kekuasaannya bisa saja beliau menjalankan diktator (aji mumpung). Hampir setiap malam Umar bin Khathab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya yang bernama Aslam, beliau keluar masuk kampung. Ini beliau lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar bin Khathab khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum dipenuhi oleh staf pemerintahannya.

Malam itu, bersama Aslam, Khalifah Umar mengarungi kampung terpencil yang berada di tengah gurun sepi. Tiba-tiba beliau terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar suara gadis kecil menangis keras. Umar bin Khathab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, untuk mengecek bila penghuninya membutuhkan bantuan.
Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menanakkan panci di atas tungku. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus mengaduk-aduk isi panci dengan sendok kayu panjang.
Assalaamu’alaikum,” sang Khalifah Umar memberi salam.
Mendengar salam Khalifah Umar, ibu itu mendongakkan kepalanya seraya menjawab salam sang khafiah Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak acuh, ibu itu menjawab, “Anakku…”
Apakah ia sakit?”
Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
Sang Khalifah Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi panci di atas api.
Umar bin Khathab tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu itu? Lama betul matangnya. Kebingungan, Khalifah Umar bertanya, “Apa yang sedang kau masak, hai ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmm, kau lihatlah sendiri!”
Umar bin Khathab dan Aslam segera melongok ke dalam panci tersebut. Kaget bin kaget keduanya terbelalak melihat apa yang ada di dalam panci. Sang Khalifah Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Si ibu mengangguk.
Buat apa?”
Dengan suara lirih, ibu itu menjawab, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khathab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Aku seorang janda. Sejak pagi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi ia kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan aku isi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”
Setelah menjelaskan panjang lebar, ibu itu terdiam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khathab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya!”

Mendengar penuturan si ibu, Aslam berniat menegur perempuan itu. Namun Khalifah Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang beliau bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar bin Khathab segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua nan sengsara itu.
Karena Umar bin Khathab terlihat keletihan, Aslam berujar, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu…”

Dengan wajah merah padam, Umar menjawab, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”
Aslam tertunduk. Tersuruk-suruk Khalifah Umar berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.

Subhanalloh, bila kita baca cerita ini dengan hati yang sejuk, maka sungguh mata ini berkaca-kaca, saudaraku. Lihatlah pemimpin di negeri ini, sibuk korupsi, sibuk rebutan kursi, sibuk ngoleksi istri, sibuk cari uang sana sini. Na’udzubillah... Sungguh, kepemimpinan seperti Khalifah Umar bin Khathab inilah yang patutnya kita jadikan pelajaran (selain Rasul ALLAH tentunya). Belum lagi keberanian beliau menentang siapa saja yang menjelekkan Islam. Sedangkan kita Saudaraku, malah sibuk menjaga nama baik, sibuk maksiat, sibuk menambah harta tanpa peduli halal haramnya. Tapi tak pernah sekalipun kita berpikir untuk mengangkat kemuliaan kita di hadapan ALLAH. Kapankah terakhir diri ini membaca Al-Qur’an dengan baik dan menyejukkan, kapankah terakhir diri ini bersujud di atas sajadah malah, kapankah terakhir diri ini mengisi tangan-tangan yang menengadah di jalanan.
Dan... entah seberapa cepat kita mati hingga seujung kukupun tak ada lagi yang bisa kita perjuangkan.

Setiap dari kita kiranya ingin masuk surga. Namun, tidaklah mudah untuk meraihnya, harus ada yang kita “bayar”. Tidak cukup hanya mengaku sebagai muslim, butuh ketaatan dan pengorbanan. Lihatlah bagaimana sikap itu diajarkan oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Umar bin Khaththab Radhiallohu Anhu.
Memang kita bukan manusia yang sempurna layaknya Rasul ALLAH. Tapi kita adalah hamba ALLAH, sama seperti beliau, ada harga yang harus kita raih untuk memasuki jannah ALLAH. Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang merugi, Aamiin..

ALLAH SWT. telah menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ada ampunan dan pahala yang besar.”
Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, (ibadah) orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

Umar bin Khattab adalah khalifah kedua yang berkuasa pada tahun 634 sampai 644. Dia juga digolongkan sebagai salah satu Khulafaur Rasyidin. Umar merupakan salah satu sahabat utama Nabi Muhammad dan juga merupakan ayah dari Hafshah, istri Nabi Muhammad.
Lahir: 584 M, Mekkah, Arab Saudi
Nama lengkap: Umar ibn Al-Khattฤb
Pasangan: Atikah binti Zaid bin Amru bin Nufail
Dibunuh: 3 November 644 M, Madinah, Arab Saudi
Dimakamkan: Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi
Anak: Abdullah bin Umar, Hafsah binti Umar
Sumber: wikipedia

Semoga bermanfaat.